"Haruskah engkau
pergi?"
"iya!"
"Mengapa? Tak adakah
keinginanmu untuk menetap di sini?"
"Masih adakah tempatku di
sini? Bukankah kalau aku di sini, hatimu menjadi galau, dan langkahmu
tak menentu serta akan membuat pikiranmu berbagi antra aku atau dia. Aku
menyadari dan menangkap makna, dia begitu dalam mengasihi dan
mencintai mu.”
Aku mendesah panjang.
Mataku menengadah ke langit,
kosong...! Tak juga aku bisa menata hati, dan tak juga bibirku mampu menjawab lugas pertanyaannya yang
sederhana dan singkat, "Masih adakah tempatku di sini?"
" Saya tidak ingin
berpisah sejengkal pun dengan mu. Aku memahami perasaanmu, perasaan cintamu yang dalam
terhadapku. Engkau ingin memilikiku seutuhnya, seperti janjimu puluhan
tahun lalu, yang kau ucapkan sambil
mengelus pipiku di hamparan pasir Pantai Ancol sana, diiringi hembusan angin
laut yang mengalun lembut menyentuh dan menyibakkan rambutmu, rambutku juga.
Haruskah kau meniadakan itu?"
"Cintaku tidak akan pernah
lumpuh, apalagi putus padamu, Sayang! Engkau adalah kekasih jiwaku, bahkan
sebelum tubuhmu dan tubuhku dipersatukan oleh sebuah ikatan perkawinan. Jangan
khawatir, itu akan ku pelihara, sampai Tuhan menjemputku dan menempatkanku di
Keabadian. Kepergianku
justru untuk memelihara cinta
itu, agar tak ternoda oleh mataku dan telingaku yang sering menangkap bahwa
cintamu telah berbagi dengan gadis itu, Sekretaris mu yang baik dan cantik
itu..."
"Maafkan aku...”
"Dia tidak salah. Atau
mungkin juga salah. Tapi, ini jujur, wanita mana yang tak tergoda padamu,
seorang pria gagah, cerdas, dan, ini dia, sangat baik hati, yang menempatkan
wanita pada Singgasana tertinggi pada kehidupanmu. Dirimu, sangat menghargai
dan mengerti kebutuhan jiwa
seorang wanita. Vincensia,
sebagaimana diriku, mabuk kepayang akan caramu, yah, perlakuan mu yang sangat
luar biasa. Tapi aku harus pergi. Tak mampu hati ini menjelaskan. Tak sangat
siap telinga ini mendengar segalanya,
biarkan Vincensia memiliki tubuhmu di akhir usia kita yang sudah mulai menua.
Aku percaya, kendati secara badani kita berpisah, tapi yakinlah, hanya jiwamu
dan jiwaku yang terpatri menjadi pasangan abadi, dan kelak, di kehidupan yang tidak berkesudahan, akan
kita rajut ulang serpihan-serpihan cinta
yang sempat tercecer..."
" Ke mana engkau akan melangkahkan
kakimu?"
"Aku akan berdiam di satu
tempat, yang pada detik-detik aku akan Menghadap
Sang Khalik, aku akan memberitahumu melalui mimpimu..."
"Masih boleh ku meremas
tanganmu dan mengecup kedua belah pipimu?"
"Jangan, Sayang! Itu akan
membuatmu sengsara. Sekali lagi, lebih baik kita berpisah dalam kecintaan,
daripada bercerai dalam kebencian."
"Sebelum kau
melangkah,adakah kau akan menyanyikan satu bait lagu untukku"
"Iya, aku akan
mendendangkan sebuah lagu untukmu. Tapi engkau harus juga
memetik gitar, menyertai alunan suaraku."
Kakiku lunglai.
Aku ambilkan gitar dan aku
memetiknya, menyertai suara merdu; kekasih
hati, kekasih jiwa dan Nenek
dari cucuku...:
" Molo lao maho, lao tu
nadao,
maninggalhon au, da hasian,
mardongan arsak nang ilukki
dang ala na hurang pambaenan
nang holongki...
Alai boasa
boasa ma ikhon songon parro ni
hilap
dohot ronggur, toppu di dok ho,
ikhon borhat
jala tinggalhononmu au
rap dohot sude pinompar tai,
Hasian na lagu,
molo ikhon borhat ma ho
ingot ma tongtong padan na ta
pudun
holong parsaripeon tai
ikhon hot sahat tu na marujung
ngolutta.
***
No comments:
Post a Comment