Monday, December 31, 2012


Sertai  aku menyanyi dengan Gitarmu


"Haruskah engkau pergi?"

"iya!"

"Mengapa? Tak adakah keinginanmu untuk menetap di sini?"

"Masih adakah tempatku di sini? Bukankah kalau aku di sini, hatimu menjadi galau, dan langkahmu tak menentu serta  akan membuat pikiranmu berbagi antra aku atau dia. Aku menyadari dan menangkap makna, dia  begitu dalam mengasihi dan mencintai mu.”

Aku mendesah panjang.
Mataku menengadah ke langit, kosong...! Tak juga aku bisa menata hati, dan tak juga bibirku  mampu menjawab lugas pertanyaannya yang sederhana dan singkat, "Masih adakah tempatku di sini?"

" Saya tidak ingin berpisah sejengkal pun dengan mu. Aku memahami  perasaanmu, perasaan cintamu yang dalam terhadapku. Engkau ingin memilikiku seutuhnya, seperti janjimu puluhan tahun  lalu, yang kau ucapkan sambil mengelus pipiku di hamparan pasir Pantai Ancol sana, diiringi hembusan angin laut yang mengalun lembut menyentuh dan menyibakkan rambutmu, rambutku juga. Haruskah kau meniadakan itu?"

"Cintaku tidak akan pernah lumpuh, apalagi putus padamu, Sayang! Engkau adalah kekasih jiwaku, bahkan sebelum tubuhmu dan tubuhku dipersatukan oleh sebuah ikatan perkawinan. Jangan khawatir, itu akan ku pelihara, sampai Tuhan menjemputku dan menempatkanku di Keabadian. Kepergianku
justru untuk memelihara cinta itu, agar tak ternoda oleh mataku dan telingaku yang sering menangkap bahwa cintamu telah berbagi dengan gadis itu, Sekretaris mu yang baik dan cantik itu..."

"Maafkan aku...”

"Dia tidak salah. Atau mungkin juga salah. Tapi, ini jujur, wanita mana yang tak tergoda padamu, seorang pria gagah, cerdas, dan, ini dia, sangat baik hati, yang menempatkan wanita pada Singgasana tertinggi pada kehidupanmu. Dirimu, sangat menghargai dan mengerti kebutuhan jiwa
seorang wanita. Vincensia, sebagaimana diriku, mabuk kepayang akan caramu, yah, perlakuan mu yang sangat luar biasa. Tapi aku harus pergi. Tak mampu hati ini menjelaskan. Tak sangat siap  telinga ini mendengar segalanya, biarkan Vincensia memiliki tubuhmu di akhir usia kita yang sudah mulai menua. Aku percaya, kendati secara badani kita berpisah, tapi yakinlah, hanya jiwamu dan jiwaku yang terpatri menjadi pasangan abadi, dan kelak,  di kehidupan yang tidak berkesudahan, akan kita rajut  ulang serpihan-serpihan cinta yang sempat tercecer..."

"  Ke mana engkau akan melangkahkan kakimu?"

"Aku akan berdiam di satu tempat, yang pada detik-detik aku  akan Menghadap Sang Khalik, aku akan memberitahumu melalui mimpimu..."

"Masih boleh ku meremas tanganmu dan mengecup kedua belah pipimu?"

"Jangan, Sayang! Itu akan membuatmu sengsara. Sekali lagi, lebih baik kita berpisah dalam kecintaan, daripada bercerai dalam kebencian."

"Sebelum kau melangkah,adakah kau akan menyanyikan satu bait lagu untukku"

"Iya, aku akan mendendangkan sebuah lagu untukmu. Tapi engkau harus juga
 memetik gitar, menyertai alunan suaraku."

Kakiku lunglai.
Aku ambilkan gitar dan aku memetiknya, menyertai suara merdu; kekasih
hati, kekasih jiwa dan Nenek dari cucuku...:

" Molo lao maho, lao tu nadao,
maninggalhon au, da hasian,
mardongan arsak nang ilukki
dang ala na hurang pambaenan
nang holongki...

Alai boasa
boasa ma ikhon songon parro ni hilap
dohot ronggur, toppu di dok ho, ikhon borhat
jala tinggalhononmu au
rap dohot sude pinompar tai,

Hasian na lagu,
molo ikhon borhat ma ho
ingot ma tongtong padan na ta pudun
holong parsaripeon tai
ikhon hot sahat tu na marujung ngolutta.
***

No comments: